Tuesday, March 29, 2016

Penang and Hoi An (Business Trip Weekends)

Halo para pembaca sekalian..semoga masih berkenan membaca blog saya ini. Kali ini saya akan bercerita mengenai traveling yang saya lakukan pada saat weekend ketika saya sedang business trip. See, yang sudah pernah membaca blog saya sebelumnya pasti tahu bahwa saya ogah rugi-an, tentunya setiap business trip, I will try to make the best out of it. Pada tahun 2014, ada dua periode dimana saya stay lumayan lama di suatu negara untuk keperluan pekerjaan, sekitar hampir satu bulan lamanya, bulan September di Malaysia dan bulan Desember di Vietnam. Pada saat itu, setiap weekend sebisa mungkin saya pergi ke suatu tempat, meski di kota yang sama, baik itu melakukan day trip/tour, mengunjungi museum, ikut walking tour, atau sekedar jalan-jalan random dan window shopping. Ketika saya tahu saya akan berada di negara tersebut untuk waktu yang lumayan lama, saya sesegera mungkin mencek harga tiket pesawat ke kota lain di negara yang sama (karena hanya ada waktu 2 hari pada saat weekend ya saya sadar diri tidak akan cukup waktunya kalau ingin ke negara yang lain). Dengan pertimbangan tingkat attractiveness dan harga tiket pesawat maka saya putuskan untuk ke Penang dan Hoi An..horee..Tiket pesawat juga baru saya beli ketika saya sudah di sana, jadi agak sedikit impulsif juga dan kebetulan semuanya pas (waktu dan harga) ya dibeli.


Penang 20-21 Sep 2014

Dari dulu saya selalu kagum dengan negara yang satu ini (Malaysia) dalam hal mengelola pariwisatanya, kalau dari sumber daya alam, menurut saya mirip-mirip lah, bahkan mungkin Indonesia is slightly better (ini tidak objektif karena saya WNI), namun somehow mereka bisa mengelola dan mempromosikan obyek wisatanya dengan baik. Salah satu contoh adalah saya pernah mendaki gunung Kinabalu, sekitar 7 tahun yang lalu, padahal pada saat itu saya belum pernah mendaki gunung manapun di negeri sendiri. Namun, gunung kinabalu ini, walaupun tidak bisa dibilang mudah, fasilitas yang mereka sediakan sangat mempermudah orang-orang biasa seperti kami ini untuk naik gunung, disediakan guide dan porter, ada jalur pendakian/path yang jelas, ada penginapan yang bagus di atas gunung (untuk menginap semalam sebelum mendaki ke summit-nya). Coba bandingkan dulu kalau mau mendaki gunung di Indonesia, sepertinya hanya orang-orang yang berpengalaman saja yang bisa, bahkan dengan resiko tersasar dan lainnya. Kami ini bukannya manja lho ya, namun dengan fasilitas yang oke, tentunya akan menjangkau target market yang lebih luas kan? Wait, ini kenapa saya jadi cerita Kinabalu, padahal sebenarnya saya mau membahas tentang Penang yaitu tentang betapa kreatifnya mereka dalam menyediakan objek wisata baru berupa mural/street art yang menarik. Penang sendiri sebenarnya nama pulau dan salah satu negara bagian di Malaysia dengan Georgetown nama ibu kotanya. Tulisan saya ini hanya seputar Georgetown ya.


Jadi di Penang ini, sejak tahun 2012 ada obyek wisata baru yaitu berupa street art dimana ada banyak lukisan di dinding/mural yang kreatif dan unik tersebar di seluruh sudut kota Georgetown. Ini merupakan ide cerdas untuk meningkatkan minat para wisatawan. Apalagi era social media seperti sekarang ini dimana orang sudah kecanduan foto dan pamer di social media, street art ini basically selain untuk dikagumi, tujuan utamanya sudah tentu, sebagai spot foto yang menarik. Pada tahun 2011 ketika adik saya mengunjungi Penang, street art ini belum ada sama sekali karena project ini baru dimulai pada tahun 2012. Kebanyakan dari mural ini merupakan karya Ernest Zacharavic seorang seniman asal Lithuania. Yang unik dari mural karya Zacharavic bukanlah lukisan di dinding semata, kebanyakan karanya 3 dimensi menggabungkan lukisan di dinding dan beberapa properti tambahan. Setial mural juga mempunyai nama sendiri dan ada cerita dibaliknya. Berikut salah satu contoh mural yang cukup terkenal.


One of the famous Penang street art

Saya menginap di sebuah hostel bernama Old Penang Guesthouse, yang mempunyai bangunnan kuno dan unik, namun tetap bagus. Sebenarnya saya bisa saja memilih hotel yang bagus dan bisa diclaim ke kantor, namun saya harus check-out dulu dari hotel saya di Petaling Jaya (KL). Karena saya agak malas dan juga bukan tipe orang yang ribet soal penginapan, maka saya mencari penginapan yang murah saja, dengan kamar dorm pula walaupun sudah umur segini ya. Hostelnya cukup oke, dengan lokasi di tengah-tengah kota tua Penang, jadi kemana-mana cukup jalan kaki saja, sarapan gratis, staff yang cukup membantu. Oh iya saya jadi teringat sesuatu. Saya hanya menginap 1 malam saja di sini, sehingga pada hari minggu pagi saya sudah check out namu saya menitipkan barang bawaan saya di sini, untuk saya ambil kembali nanti. Hari itu saya janjian dengan teman saya Hazel (dan kedua anaknya dan 1 baby sitter) untuk menelusuri kota Georgetown untuk mencari street art yang ada dan berfoto ria. Kami sudah berjalan cukup lama, sekitar 3 jam lamanya, sampai akhirnya kami mampir di sebuah toko untuk membeli cinderamata, barulah saya sadar bahwa dompet saya tidak ada di dalam tas saya.. jeng..jeng.. saya lantas ingat, dompet saya sembunyikan di dalam sarung bantal saya (padahal ada loker sih), entah kenapa saya meletakkan di situ ya, yang jelas jangan ditiru. Maksud hati supaya aman, eh malah saya kelupaan, sampe 3 jam pula! Saya pun bergegas balik lagi ke hostel, tapi sudah bersiap dengan kemungkinan terburuk, tapi masih berharap kalau pun hilang hanya cash-nya saja, karena yang paling bikin malas dari kehilangan dompet adalah mengurus berbagai kartu yang ada di dalamnya. Begitu sampai hostel, saya langsung menghampiri penjaga resepsionis dan menceritakan issue yang saya hadapi, dia dengan santai bilang, ya coba saja di cek lagi di kamarnya..dan ternyata pemirsa.. dompet saya masih ada di tempat saya meninggalkannya, hehehe..kebetulan memang belum dibereskan oleh petugas kebersihannya, ternyata saya masih dilindungi dari tragedi kehilangan dompet.

Inside the dorm room

the hostel

Kembali lagi ke hari pertama saya di Penang, saya datang dengan pesawat pagi. Dari airport menuju kota saya naik bus no 410 jurusan Balik Pulau-Jetty (ingat yang ini, bukan sebaliknya!) lama perjalanan sekitar 1 jam dan saya turun di terminal bus Komtar lalu karena bingung naik taksi untuk sampai ke hostel. Target saya hari ini adalah menuju Penang Hill dan Kek Lo Si temple. Saya naik bus untuk menuju Penang Hill atau Bukin Bendera dengan jalan beberapa meter dari hostel menuju halte bus terdekat. Yang unik dari wisata ke Penang Hill adalah kita bisa naik kereta jadul atau funicular untuk menuju ke atas bukit dengan membayar RM 30 untuk perjalanan pulang-pergi. Harga ini cukup mahal ya karena perjalanannya tidak lama, tapi saya sudah sampai situ mau tidak mau ya saya bayar. Sebenarnya kalau kamu cukup adventurous, fit dan punya waktu berlebih, kamu bisa mencoba hiking untuk sampai ke atas Penang Hill ini. Nah, ini salah satu fakta untuk mendukung statement saya sebelumnya bahwa Malaysia ini sangat bagus dalam mengemas objek pariwisata mereka. Penang Hill ini menurut saya biasa-biasa saja, begitu sampai di atas memang kita dapat melihat pemandangan kota Penang dari atas bukit, pemandangannya cukup bagus tapi ya tidak istimewa-istimewa amat sih. Tapi mereka bisa menambahkan unsur sejarah dalam objek wisata ini, yaitu penggunaan kereta tua yang mana sudah beroperasi sejak tahun 1923 yang somehow membuat orang jadi tertarik (at least, saya deh). Selain dari pemandangan di atas Penang Hill juga terdapat taman bermain untuk anak, tempat makan, ada masjid, hindu temple, dan lainnya, tapi ya that's it, saya fikir ada sesuatu yang lebih dari itu lho.


Selepas Penang Hill, berikutnya saya pergi ke Kek Lo Si temple yang merupakan salah satu kuil Buddha terbesar di Asia Tenggara. Suasana Penang hari itu super duper panas pemirsa sampai saya mau pingsan rasanya, disamping itu saya pun belum makan siang. Saya tidak naik sampai puncak dari temple ini karena sudah sangat lemas. Pada saat itu batterai dari ponsel saya juga sudah habis sehingga saya tidak punya foto dari temple ini.


Kembali ke pusat kota Georgetown, saya mencari makan siang, pada saat itu sebenarnya sudah lewat jam makan siang. Penang ini sebenarnya cukup terkenal dengan wisata kulinernya dan saya sudah sangat ingin sekali mencicipi Penang Char Kweteoy yang terkenal itu (menu favorit saya kalau makan di restoran Malaysia), setelah berjalan cukup lama dan belum menemukan restoran, saya langsung masuk ke sebuah foodcourt kecil, saya pun bersiap untuk memesan kweitau Penang ini, para penjualnya bisa mengenali saya sebagai seorang muslim dari jilbab yang saya kenakan. Begitu saya pesan mereka bilang akan menyiapkan menu yang seafood only, oke lah, sampai di situ saja standar saya, lalu salah satu penjual mengatakan bahwa mereka menggunakan minyak babi, tapi yang satu lagi bilang bisa diganti dengan veggie oil, oh oke lah tidak masalah untuk saya, saya pun duduk di salah satu kursi, lalu salah satu dari mereka datang menghampiri saya dan bilang bahwa mereka tidak memisahkan peralatan masaknya, secara sudah diperingatkan sedimikan rupa, sepertinya tidak ada alasan lagi untuk saya tetetap memesan kwetiau itu bukan? Akhirnya mereka menunjukkan counter makanan Thailand yang tidak menjual pork. Saya sebenarnya harus merasa malu, bahwa merekalah yang dengan penuh kesadaran mengingatkan saya untuk tidak makan di tempat mereka, padahal kan kalau mereka hanya mau mencari untung saja, ya tidak perlu memberitahukan saya mengenai hal ini, toh saya meman mau pesan (shame on me!!). Ternyata saya masih dilindungi oleh Allah SWT, alhamdulillah. Di Malaysia memang sepertinya ada suatu keharusan untuk pemilik restoran/kedai makanan untuk memberikan label dari restorannya; halal, non-halal, no pork, etc. Ini sangat memudahkan untuk muslim traveler seperti kita. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa ya di Indonesia tidak ada seperti ini, saya sih masih jarang melihat sebuah restoran itu diberi label halal/non-halal.





Penang Hill

view from Penang Hill

view from Penang Hill again

view from the old train

Setelah makan siang/sore saya pun kembali ke hostel untuk tidur siang sebentar, karena flight saya pagi sekali, saya sudah jalan dari hotel di PJ jam 3 pagi. Sorenya saya keluar untuk berjalan-jalan di sekitar situ untuk mengunjungi beberapa attractions yang terkenal di Penang seperti Masjid Kapitan Keling, Gereja St. George, City Hall, Queen Victoria Clock Tower, menara jam setinggi 60 kaki ini melambangkan masa pemerintahan Ratu Victoria dari 1837-1897. Menara ini merupakan hadiah dari Mr. Cheah Chen Eok yang merupakan seorang miliuner/philanthropist yang selesai dibangun pada tahun 1902. Overall kota Georgetown sangat enak dan nyaman untuk ditelusuri dengan berjalan kaki.


Kapitan Keling Mosque

Ada syuting film

St. George Church

clock tower

sunset view of South Strait

Malam harinya saya janjian dengan Hazel dan temannya untuk makan malam di Gurney Drive sebuah pusat makanan dan jajanan yang sangat ramai pada malam hari, di sini kita bisa menemukan berbagai jenis makanan maupun jajajanan yang enak. Namun, untuk kamu yang muslim, harap berhati-hati dalam memiliih makanan di sini, kesimpulan yang bisa saya ambil dari makan di sini adalah, jika penjualnya chinese, maka kemungkinan besar makanannya tidak halal. di bagian agak ujung dari tempat ini ada satu area dimana mereka menjual halal food, penjualnya biasanya dari ras melayu atau india. Memang soal rasa mungkin tidak seenak makanan yang tidak halal ya (ini dugaan saya saja sih), tapi sebagai seorang muslim yang baik, masa sih ada pilihan makanan halal, kamu masih mencoba makanan yang tidak jelas kehalalannya?



Hari kedua kami awali dengan mengunjungi Cheong Fatt Tze Mansion yang merupakan salah satu bangunan unik dan bersejarah di sini, kami hanya berfoto dari luar saja. Lalu kami kemuseum coklat dan kopi yang berada di dekat situ, tempatnya tidak begitu besar ya lumayan deh bisa mengetahui sejarah dari coklat dan kopi, selain itu kita juga bisa memesan makanan atau minuman coklat dan kopi dan membeli oleh-oleh di sini. Selanjutnya jadwal kami adalah berfoto dengan mural yang ada di sekitar kota ini, berbekal daftar mural yang ada di peta gratisan kota Georgetown yang saya dapat dari hostel, kami berusaha mencari satu demi satu mural yang terkenal untuk apalagi kalau bukan berfoto. Untuk hasilnya kamu bisa lihat sendiri foto-foto berikut ini, cukup menarik kan?


Chocolate and Coffee Museum

Inside Chocolate Museum

Kungfu Girl

Cheating Husband

street art wall painting

Boy on Chair

Kids on Bicycle



street art wall painting


street art wall painting

Old Motorcycle

street art wall painting

Selesai berfoto narsis dengan street art, setelah makan siang, kami berpisah dan saya melanjutkan perjalanan dan mampir ke sebuah benteng kuno bernama Fort Cornwallis, lagi-lagi menurut saya sih tempatnya tidak terlalu istimewa, sepertinya kita juga punya seperti ini yaitu benteng Rotterdam di Makassar.  Sore hari saya harus barsiap-siap untuk naik pesawat malam ke Kuala Lumpur.

Walaupun hanya 2 hari 1 malam, saya cukup puas dengan kunjungan saya ke Penang ini, heck, namanya juga memanfaatkan weekend ketika business trip, bisa pergi saja saya sudah cukup senang kok. Oke selanjutanya saya akan lanjutkan pengalaman saya di kota Hoi An, Vietnam. Stay tuned :)

Fort Cornwallis

Trishaw Man

Hoi An 12-13 Dec 2014


Saya sudah beberapa kali mengunjungi Vietnam, pertama kali tahun 2010 bersama Astri kami mengunjungi Ho Chi Minh City, Muine dan juga Pnom Penh, Kamboja. Pada tahun 2014 saya berkesempatan pergi ke Vietnam lagi dalam rangka business trip di bulan Juni, Juli, dan Oktober. Sampai akhirnya di akhir bulan November sampai Desember pertengahan saya kembali ke sini. Dalam beberapa kali kesempatan itu, saya belum sekalipun mengunjungi ibu kota Vietnam yaitu Hanoi, ini sebenarnya sudah menjadi keinginan saya untuk berkunjung ke Hanoi dan Halong Bay. Niat awal saya, karena saya akan berada di Vietnam cukup lama (melalui 3 weekend) saya akan mengunjung Hanoi, namun ternyata waktunya terlalu mepet kalau hanya 2 hari di weekend saja, sebenarnya bisa saja sih extend setelah business trip saya selesai, tapi saya pada waktu itu agak homesick jadi agak segan untuk menambah waktu traveling karena sudah ingin kembali ke tanah air. Oleh sebab itu maka saya putuskan saya akan ke kota lain yang merupakan anagram dari Hanoi, yaitu Hoi An. Sempat kepikiran untuk ke Da Lat juga, namun karena Hoi An ini merupakan UNESCO world heritage, maka saya lebih memilih Hoi An (shallow..hehe). Selain itu tentunya saya selalu suka kota-kota kecil seperti Hoi An ini (dalam bayangan saya mirip seperti Cesky Krumlov atau Ljubljana) dimana kita bisa berkeliling dengan berjalan kaki atau naik sepeda.


Sama seperti ketika saya ke Penang, saya hanya pergi di saat weekend saja dimana saya naik pesawat di hari sabtu pagi dan kembali di hari minggu malam. Karena Hoi An ini adalah kota kecil, tidak ada bandara di kota ini, maka untuk menuju ke Hoi An, kamu harus mencari pesawat ke Da Nang. Saya naik pesawat Jestar dengan harga pulang pergi sekitar 1 juta rupiah, lumayan murah mengingat saya hanya membelinya beberapa hari sebelum pergi. Teman-teman saya yang orang Vietnam sudah memperingatkan saya bahwa airline Jetstar ini langganan delay dan menyesali kenapa saya memilih Jetstar.,(helloooo.. ya tetntu saja karena murah, memang apa lagi?). Ternyata kekhawatiran teman-teman saya tidak terbukti karena pesawat dari HCMC ke Da Nang tidak delay. Horeee.


Saya menginap di sebuah hotel bernama Dai Long hotel yang reviewnya cukup bagus di hostelworld.com, di sini sepertinya tidak ada penginapan dengan kamar dorm, jadi saya memesan kamar privat dengan kamar mandi di dalam tapi harganya cukup murah kok hanya USD 14 saja (waktu itu 1 USD masih murah ya). Saya agak lupa saya naik apa dari airport ke hotel, maaf tidak membantu, tapi saya ingat untuk pulangnya hotel menawarkan transport arrangement dari hotel ke airport. Oh iya, saya juga belum banyak research mengenai Hoi An ini dan tidak mempunyai rencana yang konkrit untuk ke mana saja. Sampai di hotel, mengobrol dengan resepsionis hotel, saya pun membooking half day tour untuk keesokan harinya untuk mengunjungi My Son Temple.





Karena hanya traveling di negara asia tenggara, saya tidak mengecek dahulu perkiraan cuaca di Hoi An, yang ternyata langkah yang kurang bijak. Hoi An selama 2 hari saya di sana diliputi hujan terus-menerus, bervariasi mulai dari hujan gerimis sampai agak deras. Dan, satu hal yang saya missed juga adalah menyadai bahwa lokasi Hoi An ini agak sedikit ke utara dibandingkan HCMC, yang menyebabkan suhu di sini secara umum lebih rendah daripada suhu di HCMC, dan ditambah dengan hujan, maka suhu pun menjadi semakin rendah. Saya tidak persiapan sama sekali membawa jaket atau pakaian berlapis, akhirnya terpaksa membeli sebuah jaket baru di sana. Kalau saya perhatikan sih, kebanyakan para traveler di sini sudah persiapan dengan jaket atau jas hujan. Di Hoi An saya melihat cukup banyak toko yang menjual jaket merk North Face, kamu tentu mengenal merk ini bukan? Kalau di Indonesia, harga jaket merk ini minimum adalah 1 juta, bahkan bisa lebih dari segitu tergantung dari bahan dan fungsinya. Harga di sini jauh di bawah itu, seperti jaket yang saya beli berikut ini, dalamnya lumayan hangat dan luarnya waterproof, harganya hanya sekitar IDR 300 ribu saja lho, great deal sekali bukan pemirsa? Ini pun saya belinya tidak sampai menawar yang gimana gitu. Nah, yang sampai sekarang saya belum tahu adalah apakah jaket north face ini asli atau kw. Karena kelihatan sangat asli dan setahu saya (saya pernah cek di salah satu mall di jakarta) jaket merk ini memang diproduksi di Vietnam, tapi kalau misalnya saja ini adalah barang-barang asli tapi yang tidak tembus untuk export (karena ada defect misalnya), masak sih ada banyak sekali toko yang menjualnya? Oh iya kalau mau mencari jaket north face ini kamu bisa menemukan di toko-toko terutama yang dekat Hoi An Central Market (Cho Hoi An).



Japanese Covered Bridge - Chua Cau

Ada beberapa cara untuk berkeliling ancient city of Hoi An; berjalan kaki, naik sepeda (rental sepeda ada di mana-mana dan cukup murah), naik trishaw. Dari hostel juga saya sudah mendapatkan peta gratisan dimana kita bisa melihat attractions apa saja yang menarik untuk dikunjungi, namun tentunnya kamu bisa saja berjalan-jalan random di kota ini. Satu hal yang saya sadari, kebanyakan bangunan di Hoi An ini merupakan bangunan kuno yang sengaja dilestarikan dengan warna kuning yang mendominasi. Di kawasan kota tua-nya ini juga kendaraan bermotor tidak boleh masuk. Beberapa attractions yang menarik untuk dikunjungi adalah Japanese covered bridge, ada juga beberapa temple yang bisa dikunjungi. Di sepanjang jalan juga terdapat beberapa restoran dan kafe-kafe yang unik. Selain itu juga ada beberapa museum dan bangunan kuno yang merupakan peninggalan dari rumah orang-orang jaman dahulu yang bisa kita kunjungi dan juga ada guide yang memberikan penjelasan. Yang juga menarik dari kota Hoi An terdapat sungai Hoai yang mampu memberikan pemandangan yang cantik dan unik. Ada beberapa jembatan cantik melintasi sungai ini, yang cukup terkenal adalah Cam Nam Bridge.


Ah satu hal lagi, yang pasti menjadi objek foto favorit adalah toko lentera di malam hari. Ho An memang terkenal menjual berbagai lentera dengan berbagi bentuk, ukuran, dan warna warni yang unik, menarik dan cantik. Pada malam hari ketika lentera ini dinyalakan, memberikan pemandangan yang unik dan tentunya instagrammable (kalau meminjam istilah anak jaman sekarang). Saya pun tergoda untuk membeli juga lentera ini, tapi ukuran yang kecil saja dan ternyata tidak terlalu memakan banyak tempat untuk dibawa. Hoi An juga terkenal dimana kamu bisa membuat baju maupun jas tailor made dan harganya pun tidak mahal (saya tidak coba sih tapi saya perhatikan banyak sekali toko yang menawarkan jasa menjahit ini).


ancient city

Hoi An Ancient City
Venice of Asia (?)

cute cafe



Salah satu sudut kota Hoi An

Massive dragon statue at Quang Dong Assembly Hall

Museum of Folk Culture

view from dinner place

Lantern shops

Hari kedua saya akan mengunjungi My Son Sanctuary yang terletak sekitar 1 jam dengan kendaraan bermotor dari pusat kota Hoi An. My Son ini dinobatkan sebagai UNESCO world heritage pada tahun 1999. My Son sanctuary merupakan sebuah komplek bangunan yang dulunya merupakan sebuah kota kekaisaran dinasti Cham kira-kira pada abad ke 10. Terdapat di dalamnya puluhan candi, kuil dan menara baik yang sudah runtuh maupun yang sudah direstorasi. Bentuk, bahan dan struktur bangunannya mengingatkan saya pada Bantey Srei di Angkor Wat, Siem Reap. Tapi kalau dibandingkan dengan Angkor Wat, secara ukuran masih jauh lebih kecil sih.  My Son di sini artinya berbeda dengan bahasa Inggris, karena My dalam bahasa Vietnam artinya cantik, dan Son artinya pegunungan, jadi instead of anak laki-laki, arti My Son adalah pegunungan yang cantik.


Saya ikut group tour besama orang-orang yang tidak saya kenal. Kami dijemput dengan mobil minivan. Dalam tur ini sudah termasuk 1 orang guide yang akan memberikan kita penjelasan mengenai sejarah di balik candi dan banguan di situ, tapi kalau saya perhatikan hanya sedikit orang saja yang mendengarkan, sisanya lebih sibuk mengambil foto. Karena kebanyakan dari peserta tour sudah punya teman masing-masing, saya jalan sendiri saja. Di sini saya bertemu seorang solo traveler asal Prancis bernama Max yang sedang melakukan solo traveling selama 6 bulan berkeliling Asia. Akhirnya kami pun malah mengobrol berdua sambil berfoto-foto mmdan sudah tidak mendengarkan lagi penjelasan si tour guide. hehe.. Di perjalanan pulang kami pun mash mengobrol tapi kami harus berpisah karena destinasi yang berbeda setelah dari My Son, tentunya tidak lupa bertukar alamat Facebook.


My Son Temple

My Son Temple and a new friend taking selfie

My Son

My Son

Selepas dari My Son, untuk makan siang saya mencoba Banh Mi terenak di Hoi An dan juga sangat terkenal yang bernama Banh Mi Queen milik Madam Khanh. Banh Mi ini adalah salah satu makanan populer di Vietnam (selain pho tentunya) yang pada dasarnya semacam sandwich/burger/hotdog namun roti yang dipakai adalah Baguette khas Vietnam, di dalamnya berisi daging dan sayuran. Saya tentu memilih menu Banh Mi Ga (Ayam). Tempat makannya cukup sederhana namun rasanya memang enak dan tidak mahal (sampai-sampai tidak saya reimburse ke kantor loh, hehe).


the famous queen banh mi

Karena masih ada setengah hari sebelum saya harus kembali ke HCMC, saya memutuskan untuk mampir ke pantai yang cukup dekat dari pusat kota Hoi An. Sehari sebelumnya saya sempat mencoba untuk pergi ke pantai juga dengan sepeda, namun karena hujan turun cukup deras, walaupun saya sudah memakai jaket north face yang waterproof, tetap saja kaki saya basah kuyup, dan saya memutuskan untuk kembali lagi dan mencoba di hari berikutnya.

Saya sudah bertanya-tanya sama resepsionis hotel, dengan sepeda, hanya dibutuhkan 30-40 menit untuk sampai ke pantai Cua Dai. Lumayan lah, cukup untuk exercise. Pantainya sendiri menurut saya tidak terlalu istimewa, bukan yang pasir putih lembut dan air laut berwarna hijau turquois. Tapi what matters adalah perjalanannya itu sendiri. Menurut saya sebuah pengalaman yang menarik bersepda menuju pantai, melewati sudut kota Hoi An termasuk melewati persawahan.

Cua Dai Beach

Cua Dai Beach

Somewhere otw to Cua Dai beach

Cycling in Hoi An
Ternyata reputasi Jetstar sering delay masih berlaku, terbukti pesawat saya dari Hoi An menuju HCMC delay sekitar 2 jam, lumayan banget ya. Saya menghabiskan waktu menunggu delay dengan mengobrol dengan salah seorang traveler cewe yang berasal dari Amerika Latin.

Begitulah sekelumit kisah liburan spontan uhuy saya di sela-sela business trip. Semoga bermanfaat ya.


No comments: