Wednesday, December 9, 2015

New Year Holiday to Jogja

Okay... setelah hampir setahun akhirnya akan saya tuliskan juga pengalaman saya ini. Yup, trip ini yang terjadi di penghujung tahun 2014 untuk merayakan 2015, tidak terasa tahun 2015 ini sudah mau berakhir, cepat sekali ya. Oke seperti biasa sedikit background untuk trip ini. Tahun 2014 kira-kira setengah tahun terakhir memang saya cukup sibuk dan saya pun harus menghabiskan waktu cukup lama untuk business trip, terakhir di bulan Nov-Dec saya sebulan lamanya business trip di Vietnam, oleh karena itu saya merasa saya deserved sekali untuk yang nama liburan dan ketika ada ajakan dengan mempertimbangkan lokasi, waktu, jatah cuti, langsunglah saya setuju, uang tidak menjadi masalah ya.. hahaha..sombong abis, eh bukan begitu kan ceritanya lagi butuh banget liburan. Kali ini travelmate saya adalah Fajrin dan Sukma yang sudah saya kenal dari waktu kuliah dulu. Walaupun saya sudah beberapa kali ke Jogja, saya tetap bersemangat untuk pergi ke kota ini, karena memang selalu membuat kangen ingin selalu kembali ke sini. Sebenarnya tidak ada niatan untuk merayakan tahun baru atau bagaimana, hanya kebetulan saja kita semua punya jatah cuti yang memadai. Kami pun menyelipkan kota Solo untuk dikunjungi supaya lebih seru aja sih ceritanya dan cukup mudah dan cepat dicapai dari Jogja. Saya sudah pernah ke Solo tapi sudah beberapa tahun yang lalu.


Di paragraf kedua ini saya akan memaparkan sedikit mengenai transportasi dan akomodasi. Kami berangkat dengan kereta eksekutif dengan harga 400ribuan yang mana cukup mahal namun kami cukup maklum karena masa libur natal dan tahun baru, untuk pulangnya kami naik pesawat garuda promo dari Solo dengan harga 400ribuan juga, eh sebenarnya bukan promo sih, teman saya Sukma bisa menukar mileage dari garuda sehingga kita cukup membayar segitu saja. Kami akan menghabiskan total 6 hari dengan rincian 4 hari di Jogja dan 2 hari di Solo.

Mencari akomodasi seperti yang sudah dapat diperkirakan di musim liburan ini, menjadi tantangan tersendiri, apalagi Jogja merupakan salah satu kota besar dan obyek wisata favorit baik itu untuk wisatawan domestik maupun internasional, selain itu masa liburan juga membuat harga-harga hotel menjadi naik, maka pilihan pun semakin terbatas, apalagi kalau maunya hotel yang bagus dengan lokasi yang bagus dan harga yang pas. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk membooking sebuah penginapan bernama Mango Tree Dipudjo yang berkonsep homestay terletak di Jalan Sidoluhur, Pujokusuman. Di situ pun hanya ada kamar dormitory dengan 6 tempat tidur dan kamar mandi di luar. Dari segi lokasi sebenarnya tidak terlalu strategis, sebenarnya bisa jalan kaki ke Malioboro sekitar 40 menit, namun selama di sana kami tidak pernah mencoba berjalan kaki ke malioboro, selalu naik kendaraan. Yang saya suka dari penginapan ini adalah suasanya yang homey sekali karena bentuknya masih seperti rumah di Jawa pada umumnya, kesannya adem dan bersahabat, ada common room diman kita bisa bersantai menonton TV, membaca buku, atau sekedar mengbrol sambil makan camilan, hanya saja kami agak mengalami kesulitan untuk menemukan penginapan ini pada awalnya yang akan saya ceritakan di bagian selanjutnya.



Day 1 – 29 Dec 2014

Kami naik kereta dari St. Gambir ke St. Tugu Yogyakarta dengan kereta eksekutif, menurut saya keretanya tidak sebagus kereta eksekutif biasanya mungkin karena musim liburan mereka memberikan gerbong tambahan untuk mencukupi kebutuhan penumpang, saya ingat keretanya tidak terlalu tepat waktu, sempat delay 1 jam dari jadwal keberangkatan, kami sampai di Jogja sekitar jam 6 sore. Kami agak kesulitan mencari taksi untuk ke penginapan, karena kebanyakan mereka tidak mau pakai argo karena memang ramai dan agak macet juga pada saat itu, dan kalau mau naik becak pun jatuhnya pasti lebih mahal karena paling tidak kita membutuhkan minimal 2 becak. Akhirnya kami mendapatkan bapak taksi yang berbaik hati mau memakai argo, benar-benar supir taksi yang langka. Kami mencari homestay dengan mengikuti lokasi berdasarkan google map, namun ternyata tidak semudah itu karena homestay terletak di jalan-jalan kecil/gang yang agak sulit dicapai dengan mobil (apalagi kalau belum familiar). Akhirnya kami pun menelepon homestay yang akan menjemput kami dengan motor untuk sampai homestay, sambil menunggu jemputan kami pun makan malam di warung makan dekat situ karena haru sudah cukup larut. Rencana awal malam itu kita mau keluar untuk makan malam atau sekedar nongkrong minum kopi, namun harus kami lupakan karena hari sudah cukup malam dan kami sudah cukup lelah dan tentunya masih ada esok hari. Setelah sampai dengan selamat di homestay kami pun membersihkan diri dan beristirahat untuk mempersiapkan stamina untuk aktifitas esok harinya.

Kereta Eksekutif

Stasiun Tugu


Day 2 – 30 Dec 2014

Hari ini kami pergi ke Gua Jomblang, yang tampaknya akan menjadi pengalaman pertama saya ke Gua. Alasan utama saya tertarik dengan Goa Jomblang adalah karena goa ini merupakan salah satu lokasi untuk tantangan di acara reality TV show terkenal Amazing Race US season 19 sekitar tahun 2011. Saya yang merupakan penggemar acara Amazing Race sangat bangga Indonesia bisa ada di acara tersebut dan sejak saya melihat Goa Jomblang di acara tersebut sudah menyimpan keinginan untuk bisa mengunjungi tempat ini, karena tidak terima bagaimana mungkin televisi barat yang lebih tahu ada tempat seperti ini dibandingkan saya yang orang Indonesia ini. Sejak acara amazing race, tempat ini menjadi semakin populer dengan adanya sebuah iklan rokok Indonesia yang terkenal yang juga berlokasi di sini. Bukan hanya sebagai tujuan wisata, bahkan ada juga pasangan yang menjadikan Goa Jomblang sebagai lokasi untuk berfoto pre-wedding, luar biasa, tidak terbayang usaha mereka berfoto dengan baju bagus di dalam gua ini, setelah mengalami sendiri masuk ke dalam gua ini.

Untuk bisa masuk ke dalam goa ini kamu harus ikut tournya, dan tidak semua orang bisa masuk seenaknya. Tour ini dikelola oleh swasta dengan contact person bernama Mas Cahyo, kalau ada yang butuh contact beliau, bisa direct message ke saya ya. Kami membayar 450 ribu per orang yang sudah termasuk guide, peralatan seperti sepatu boots, helm, juga snack dan makan siang. Ada biaya tambahan jika kita juga ingin dijemput dari penginapan kita di Jogja. Kami sudah sewa mobil harian sehingga pergi ke sini sendiri. Tempatnya tidak terlalu mudah ditemukan sehingga mereka menyediakan jasa penjemputan. Di Jogja ada beberapa wisata gua lainnya seperi gua pindul (cave tubing) yang biayanya lebih murah. Tour dimulai sekitar jam 10.30 pagi dan hanya ada 1 kali sehari karena waktunya harus pas yaitu sekitar tengah hari jam 12 siang semua peserta tur sudah harus berada di dalam gua untuk melihat pancaran sinar matahari yang terkenal ini, karena kalau sudah lebih siang tidak akan terlihat cantik lagi. Hari itu ada sekitar 20 orang peserta tur yang semuanya wisatawan lokal. Setelah disuguhi teh hangat kami pun bersiap-siap memakai perlengkapan yaitu sepatu boots dan helm yang wajib dikenakan karena medan yang akan kami lalui berlumpur dan begitu juga keadaan di dalam gua. Jadi untuk ke sini kamu tidak perlu memakai sepatu keds karena sepatu boots sudah harus digunakan sedari awal. Sebenarnya saya merasa saya cukup fearless sebagai seorang wanita, namun seperti kebiasaan saya sebelum naik wahana-wahana yang memicu adrenalin (roller-coaster, etc) saya selalu merasa panik dan ketakutan, keringat dingin, muka pucat, dan selalu berakhir bahagia dengan saya ketagihan dan ingin mencoba lagi. Begitu juga dengan aktifitas ke Goa Jomblang ini, karena untuk masuk ke dalam Gua-nya kita harus turun ke perut bumi (sekitar 60 meter) dengan bergantungan pada tali, lumayan serem kan kedengarannya? Untuk mengurangi rasa takut saya mencoba mencari-cari tulisan orang di blog mengenai pengalaman ke Goa ini, yang sukses membuat saya bertambah ngeri karena si penulis blog ini orangnya penakut. Hahaha.

Ketakutan mulai mereda ketika saya tahu bahwa kita akan turun berdua-dua (tandem) yang alasannya supaya semua peserta sampai lebih cepat ke bawah. Saya pun turun berdua bersama Sukma. Ternyata pemirsa, turun 60m ke bawah itu tidak terasa sama sekali (sedikit kecewa) malah menurut saya sangat cepat hanya sekitar 2 menit saja dimana saya sempat mengabadikannya di video. Begitu sampai ke bawah ternyata kita masih harus trekking sebentar, medannya lumayan berbatu dan juga becek dan licin, lama berjalan sekitar 20 menit baru akhirnya kami sampai juga di dalam goa. Keadaan di dalam benar-benar gelap gulita dan kami tidak dibekali dengan senter, hanya ada 1 senter milik si guide. Jadi saran saya kalau bisa bawa senter sendiri deh, lebih bagus kalau pakai headlamp. Saya sendiri menggunakan senter dari hape yang sebenarnya agak beresiko juga ya kalau sampai jatuh di kegelapan Gua. Setelah berjalan sekitar 10 menit, akhirnya kami sampai juga di lokasi cahaya surga ini. Benar-benar pemandangan yang surreal, ditengah-tengah gua yang gelap ada seberkas cahaya matahari yang masuk melalui kisi-kisi pepohonan di atasnya. Karena pengunjung lumayan banyak maka kami harus gantian dengan pengunjung yang lain untuk berfoto. Di dalam sini guide juga mewanti-wanti kita untuk berhati-hati jangan sampai menginjak beberapa batu-batuan kapur (karst) karena cukup rapuh, selain berbahaya juga dapat merusak alam. Setelah puas berfoto kami pun bisa kembali ke ke atas lagi, dengan cara yang sama. Sampai di atas barulah  saya mengetahui kenapa harga tur gua jomblang ini relatif mahal dibanding gua lainnya, karena ternyata untuk mengangkat kita kembali ke atas menggunakan tenaga manusia, sekitar 10-15 pemuda, luar biasa! Pantas saja ketika kita sedang antre di bawah untuk menunggu giliran naik, beberapa orang ada yang di suruh naik terlebih dahulu mungkin untuk mengatur kekuatan si mas-mas ini. Melihat ini saya sebenarnya agak kasihan juga sih sama mas-mas yang kerjanya menarik kita-kita ini, tapi kalau difikirkan lagi, lumayan juga kan membuka lapangan pekerjaan bagi warga di sini, hehehe. selain alasan lain mungkin untuk menjaga kelestarian alam di sekitar situ dengan tidak memasang perlatan-peralatan yang canggih untuk mengangkat kita.


Teh dan gula batu

Boots


Mulut gua Jomblang

View otw to goa jomblang


Cahaya dari surga

katrol manual

Selesai dari Gua Jomblang, beberapa teman baru yang kami kenal mengajak kami untuk bergabung ke wisata gua lain di sekitar situ yaitu cave tubing di Kalisuci, namun karena kurang persiapan (tidak membawa baju ganti dan peralatan mandi), maka kami memutuskan untuk kembali saja ke penginapan untuk mandi dan bebersih diri sebelum makan malam. Kami pun memilih restoran yang bagus untuk makan malam kali ini, sebuah restoran bernama Abhayagiri yang terletak di atas bukit dimana kita bisa melihat pemandangan guung merapi dan candi prambanan dari restoran, cukup keren kan pemirsa? Selain dari view-nya, restoran ini juga mempunyai desain yang bagus dan cantik. Oke untuk foto-foto. Untuk restoran fine dining, harganya cukup reasonable yang tidak jauh berbeda dengan kafe-kafe di Jakarta, sekitar 100 ribu untuk makanan dan minuman, tambahan 50 ribu kalau pakai desert, namun untuk rasa makanan kalau menurut saya tidak terlalu istimewa yah.


view gunung merapi dari restoran

Abhayagiri

Abhayagiri


Day 3 – 31 Dec 2014

Hari ini kami tidak memiliki itinerary tertentu, jadi kami hanya berjalan-jalan di Malioboro saja dan kesimpulan saya, sebaiknya hindari ke Malioboro pada saat menjelang tahun baru seperti ini. Karena super duper penuh sesak. Untuk jalan saja sangat ramai dan berdesakan di pinggiran jalan Malioboro, suasana jalan pun super ramai dan macet dimana-mana. Apalagi toko oleh-oleh terkenal Mirota, kami bahkan tidak bisa masuk ke dalamnya karena sangat penuh sesak dengan pengunjung.

Karena keadaan malioboro yang ramai, kami pun memutuskan untuk menjauh sedikit dari pusat kota. Kami pergi ke Kasongan yang merupakan pusat kerajinan gerabah di Yogjakarta. Ini memang tempat yang paling pas untuk kamu yang mencari barang-barang kerajinan karena barang-barangnya beragam dengan design yang bagus dan harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan toko-toko di Jakarta seperti IKEA, Ace Hardware, Informa dan lainnya. Teman saya Sukma membeli cermin yang bagus sekali dengan harga yang sangat murah dibandingkan di Jakarta. Jangan bingung dan khawatir bagaimana membawa pulang barang belanjaan, karena kebanyakan toko di sini menyediakan jasa pengiriman juga, tentunya ada ongkos kirim, tapi cukup reasonable harganya.

Selepas dari kasongan, kami lantas pergi lagi-lagi menuju tempat berbelanja yang lain yaitu ke Dowa yang menjual tas, dompet rajutan. Saya sendiri sebenarnya heran apa yang menarik dari Dowa ini karena model-model rajutan seperti ini menurut saya kurang kekinian. Yang lebih mengherankan adalah harganya yang cukup mahal, eh ralat, mahal banget. Harga tas rata-rata di atas 500 ribu, dan yang paling murah karena paling kecil adalah dompet tempat HP yang mana harganya pun di atas 100 ribu, luar biasa kan? Dan yang membuat saya lebih heran lagi, toko ini sangat ramai pengunjung yang rata-rata wanita dan kebanyakan dari mereka membeli lho, bukan seperti saya yang cuma melihat-lihat sambil mencemooh betapa mahal harganya. Setelah itu kami memutuskan untuk pergi ke pabrik dan toko coklat monggo di Kotagde. Saya sendiri sebenarnya sudah pernah ke sini sekitar tahun 2012, namun karena kedua teman saya belum pernah, saya pun tidak keberatan ke sini lagi. Namun sayangnya kami agak kesorean dan tempatnya sudah tutup, kalau tidak salah saat itu sudah hampir jam 6 sore.

Oh iya hari ini kami menyempatkan diri mencoba makanan yang terkenal di Jogja yaitu sarapan gudeg Yu Djum dan makan siang di Soto Kadipiro. Untuk makan malam kami makan di sebuah kafe bernama Lotus Mio Cafe and Gelato yang juga menjual coklat monggo. Walaupun malam itu adalah malam tahun baru, namun kami memilih untuk cepat kembali ke penginapan karena besok paginya kami harus pergi pagi hari sekali untuk melihat sunrise di Candi Borobudur. Sampai homestay kami pun sempat bercakap-cakap dengan satu keluarga yang berasal dari Korea (suami istri dan satu anak laki-laki berumur 7 atau 8 tahun). Berdasarkan hasil obrolan kami menurut mereka biaya hidup (makanan, akomodasi) di Jogja ini cukup murah, namun harga tourist attractions cukup mahal, sebagai contoh untuk turis asing harga masuk ke Candi Borobudur adalah USD 20 atau IDR 250 ribu. Satu hal lagi yang menjadi concern untuk mereka adalah sulitnya mencari bir atau minuman keras lain di Jogja!

Malioboro ramai

Coklat monggo rasa cabe

Kasongan

Toko tas dowa


Day 4 – 1 Jan 2015

Akhirnya kesampaian juga saya melihat sunrise di candi Borobudur. Di postingan saya beberapa tahun yang lalu di blog ini juga, saya pernah menuliskan keinginan saya untuk mengunjungi Borobudur di saat sunrise, yeay akhirnya saya bisa mewujudkannya. Apa yang menarik dari sunrise di Borobudur? Kalau untuk saya sendiri tertarik karena memang saya suka sunrise dan sunset, dan sempat melihat betapa indah dan syahdunya pemadangan candi Borobudur di kala sunrise di internet.

Yang harus kamu ketahui, pihak Borobudur menetapkan tarif yang berbeda untuk kamu yang mau mengunjungi Borobudur di saat sunrise dan sunset. Harganya adalah IDR 250 ribu, harga ini bisa gratis lebih murah sedikit kalau kamu adalah tamu yang menginap di hotel Manohara, maklum pintu masuk untuk sunrise dan sunset ini memang dimonopoli oleh hotel ini. Kalau dibandingkan dengan harga biasa (selain waktu sunrise dan sunset) yang 20 ribu rupiah, memang 250 ribu ini lumayan mahal, namun sekali lagi, karena uang tidak menjadi kendala untuk trip saya kali ini, maka dengan senang hati saya bayar deh, Harga ini sudah termasuk senter pinjaman, snack (kopi, teh, pisang goreng dan kue basah lainnya), dan suvenir kain batik kecil. Untuk tarif normal 20 ribu rupiah berlaku dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore. Harga untuk wisatawan asing adalah IDR 380 ribu rupiah, luar biasa mahalnya.

Kami dijemput dari homestay jam 3 dini hari karena lokasi candi Borobudur ini sebenarnya sudah memasuki kota Magelang, bukan Jogja, dan kami harus sudah tiba di sana jam 4.30 pagi. Sebelumnya kami sudah melakukan reservasi dengan mengirimkan email ke reservation@manoharaborobudur.com 
Ini antisipasi saja karena kami ke sana bertepatan dengan tahun baru (1 Januari 2015) jadi saya perkirakan akan ramai dengan pengunjung walaupun harganya tidak murah. Dugaan saya pun tepat sekali, karena sudah cukup banyak pengunjung baik itu dari Indonesia maupun mancanegara, walaupun terlihat lebih banyak turis asing dibandingkan lokal. Ramainya orang agak sedikit mengurangi suasana syahdunya sunrise, tapi tentunya saya tidak kecewa karena pemandangan Borobudur di kala sunrise ini benar-benar stunning. Walaupun agak berawan sehingga kita tidak bisa benar-benar melihat matahari terbit dengan sempurna, namun pemandangan stupa dan perbukitan di sekeliling Borobudur dan hamparan kabut merupakan kombinasi yang pas untuk memberikan kesan mistis sekaligus romantis. Maksud hati ingin berdiam diri sejenak berkontemplasi, merenungkan kenangan di tahun 2014 sambil membuat rencana untuk resolusi tahun 2015, namun apa daya, karena ramai akhirnya kami hanya duduk sebentar dan selanjutanya berburu foto, yah kami hanyalah manusia biasa yang hidup di era digital yang segala sesuatunya harus didokumentasikan dan dipublikasikan di media sosial.

Sebenarnya untuk menikmati sunrise di Borobudr ada alternatif lain selain di hotel Manohara yaitu melihat pemandangan candi Borobudur dari kejauhan yaitu dari bukit Setumbu. Setahu saya tidak dipungut biaya untuk ke tempat ini hanya saja kamu harus melakukan sedikit hiking untuk mencapai bukit ini. Jadi instead of berada di candi Borobudur kamu akan melihat pemandangan candi Borobudur saat sunrise dari atas bukit. Saya sendiri tidak mencoba ini, namun kalau saya lihat foto-foto di internet sepertinya bagus juga, hanya saja yang perlu diingat adalah sepertinya kamu harus memiliki kamera yang bagus dan mampu men-zoom dengan baik untuk mendapatkan foto yang bagus. 

Sunrise di Borobudur

Sunrise di Borobudur

Sunrise di Borobudur

Majestic view of Borobudur



Gratisan

Selepas Borobudur, kami pergi ke Museum Ullen Sentalu yang berada di daerah Kaliurang. Museum ini salah satu museum terbagus yang ada di Indonesia (dari museum-museum yang pernah saya kunjungi) karena sangat well-maintained, tentunya karena dikelola oleh swasta. Museum ini menyimpan banyak koleksi yang menggambarkan budaya dan kehidupan Jawa baik itu dari Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Harga tiket masuk sekitar 30 ribu rupiah dimana kita hanya bisa berkeliling museum dengan dipandu oleh satu orang guide yang akan membawa kita ke setiap sudut ruangan dan memberikan penjelasan dan cerita-cerita dibalik barang-barang koleksi museum. Saya sudah pernah ke sini sekitar tahun 2012 awal, namun dengan senang hati saya ikut lagi. Yang membuat saya terkesan adalah bagaimana museum ini dikelola dengan baik dan apik, Apalagi pertama kali saya ke sini saya baru pulang dari Eropa dan sudah terbiasa dengan museum-museum di Eropa yang bagus, dan ternyata saya cukup terkesan dengan museum Ullen Sentalu ini. Oh iya, kamu tidak diperbolehkan mengambil foto selama ikut tur di dalam ruangan di museum, tapi setelah tur selesai, kita boleh berfoto-foto di luar ruangan. Hanya satu kekurangan sih yang saya rasakan, menurut saya wajar saja tidak boleh mengambil foto, namun karena konsepnya guided tour dan kita tidak bisa menjelajah museum, waktu kita untuk melihat setiap koleksi ini pun terbatas karena sepertinya jadwal sudah diatur sedemikian rupa sehingga tidak menghambat jalannya tur selanjutnya. Saya sebagai penggemar museum merasa kurang puas untuk menikmati koleksi di museum. Ada satu ruangan di museum yang membuat saya terkesan yaitu Ruang Puisi Tinneke dimana di ruangan itu terdapat korepondensi yang dikirimkan oleh Putri Tinneke kepada teman-teman dan saudranya. Saya sebenarnya ingin membaca semua surat-surat tersebut tapi sayang waktunya terbatas. Di kali kedua saya ke sini pun lagi-lagi saya gagal membaca surat-surat Tinneke ini, gemez kan jadinya...

Seperti tahun 2012, sehabis dari Ullen Sentalu kami makan siang di Jejamuran, dari namanya pasti sudah ketebak bahwa restoran ini mempunyai menu makanan dengan bahan dasar utama berbagai jenis jamur namun dimasak dengan kreatif seperti makanan dengan daging biasa seperti sate jamur, rendang jamur, dan lainnya. Restoran ini sangat ramai, namun cukup luas dan tempat parkir luas dan gratis. Mereka juga menyediakan makan siang untuk para supir, namun makanannya bukan terbuat dari jamur  melainkan dari daging biasa, hebat kan? Di restoran ini justru makanan jamur-jamuran yang lebih tinggi "derajat"nya. Hehehe. Selain rasa yang enak harga makanan di restoran ini juga relatif murah, mungkin karena bahan dasarnya jamur tidak terlalu mahal, dan walaupun ramai restoran ini juga sangat efisien, tidak terbayang berapa omset restoran ini per harinya. Selain makanan, kita juga bisa membeli cemilan yang terbuat dari jamur, saya sangat merekomendasikan keripik jamurnya dan agak menyesal hanya membeli sedikit dan cepat sekali habisnya.

Sebelum kembali ke homestay, kami menyempatkan diri dulu untuk membeli oleh-oleh bakpia di hotel Phoenix, sebelumnya kami sudah memesan lewat telepon berapa banyak yang akan kita beli untuk selanjutnya diambil ke hotel tersebut. Ini bisa menjadi alternatif dari bakpia pathok yang biasa. Mampir ke hotel ini membuat saya jadi ingin menginap di hotel ini, karena bentuk bangunannya yang bergaya jaman kolonial cukup unik, mungkin next time saya ke Jogja akan mencoba menginap di hotel ini (kalau bukan pas masa liburan ya). Malam harinya saya, Fajrin dan seorang cewek asal Surabaya, teman sekamar kami  kongkow dulu di angkringan sambil minum kopi joss dan membeli cemimlan gorengan. Saya cukup amazed dengan murahnya jajanan di sini, satu gelas kopi jos dan beberapa gorengan hanya 6000 rupiah saja lho.


Mango Tree Homestay

Malioboro

Day 5 – 2 Jan 2015

Sisa dua hari dari liburan kali ini akan kami habiskan di kota Solo. Kami naik kereta Sido Mukti dari Jogja ke Solo. Awalnya kami berencana naik kereta Prameks yang jadwalnya lebih cepat, namun kereta jesnis ini tidak bisa memilih tempat duduk, jadi kami putuskan memilih kereta Sido Mukti saja supaya bisa tenang dapat tempat duduk selama di kereta, harganya pun cukup murah hanya 20 ribu rupiah saja. Lama perjalanan sekitar 1.5 jam, karena kereta kami agak siang, maka sambil menunggu saya dan Sukma berjalan-jalan dulu di malioboro yang sudah lumayan tidak terlalu ramai jika dibandingkan satu hari sebelum tahun baru waktu itu. Saya pun seperti biasa setiap ke Jogja selalu menyempatkan diri untuk mampir ke hotel favorit saya di Jogja yaitu Hotel Pantes yang sempat saya bahas juga di salah satu postingan di blog ini. Beberapa kali sebelumnya tahun 2012 and 2014 awal saya ke Jogja saya pun tak lupa mampir ke hotel Pantes ini, sudah semacam pilgrimage saja ya.

Malioboro
Foto di hotel pantes Jan 2015
Foto di hotel pantes Feb 2014

Foto di hotel pantes Mar 2012

Kereta Jogja ke Solo
Kami tiba di stasiun Solo Balapan sekitar jam 1.30 siang, karena turun hujan agak lebat kami harus menunggu dulu di stasiun sekitar setengah jam sampai hujan agak reda. Kami pergi ke hotel naik becak (1 orang 1 becak) yang ternyata cukup dekat dari Stasiun, bisa jalan juga sih sebenarnya, tapi daripada nyasar kami memilih naik becak saja, sekaligus memajukan perekonomian Solo.. haha.. apa coba. Kami menginap di Hotel Twin Star, sebuah hotel yang lumayan baru yang saya temukan di situs booking.com. Saya dan Sukma sangat senang sekali karena akhirnya bisa tidur di hotel yang proper (sebelumnya tidur di kamar dorm dan kamar mandi sharing) dengan kamar privat yang luas dan kamar mandi di dalam. Harganya pun cukup reasonable harga 1 kamar IDR 270 ribu per malam.

Setelah sholat dan menaruh barang-barang, kami pun keluar untuk makan siang. Target kami saat itu adalah Selat Solo, salah satu makanan khas Solo yang terkenal, kami pun berjalan kaki untuk menuju Selat Solo Vien, namun ternyata jam segitu sudah habis semua dagangannya. Kami lalu menuju tempat yang terkenal juga yaitu Selat Solo Bu Lies. Kami naik taksi dari situ. Oh iya untuk transportasi di Solo kami lebih sering menggunakan taksi karena kami bertiga. Untuk taksi di Solo yang reliable adalah Taksi Kosti Solo yang bisa kita telepon dan akan datang dengan cepat (karena tidak macet juga kali ya). Namun, kalau kita telepon ada biaya minimun yaitu 25 ribu rupiah, tapi rata-rata ini sudah bisa ke mana-mana kok.Kalau mau tahu seperti apa Selat Solo itu bisa dilihat di foto berikut saja ya, saya kurang bisa mendeskripsikannya. Kalau menurut saya sebenarnya rasanya tidak terlalu istimewa sih, tapi ya ini pendapat saya saja. Namun yang saya suka adalah suasana restoran Selat Solo Bu Lies ini dengan design interior yang unik dipenuhi hiasan berupa piring-piring di tembok, keramik, dan guci-guci.

Tujuan kami selanjutnya adalah Museum Batik Danar Hadi, seperti yang kita semua sudah tahu nama Danar Hadi cukup beken di dunia perbatikan Indonesia. Namun sayang sekali ketika kami tiba di sana, museum sudah tutup karena jam bukanya adalah jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Kami pun tetap bisa masuk ke area luar museum dan tokonya dan berfoto-foto di sekitar situ. Kami pun mampir ke tokonya sekedar melihat-lihat dan membeli sedikit oleh-oleh. Dari situ kami menuju tempat makan malam yang tekenal juga di Solo yaitu nasi (sego) liwet wongso lemu, pokoknya tujuan kami ke Solo ini benar-benar untuk wisata kuliner juga deh. Ada beberapa cabang sego liwet wongso lemu, dan saya pun tidak ingat kami makan yang dimana. Nasi Liwet ini benar-benar enak dan tempat makannya ala lesehan gitu. Karena malam masih panjang, kami lalu pergi untuk kongkow ke sebuah kedai kopi yang terkenal di Solo yanitu Kedai Kopi Tiga Tjeret yang ternyata tempatnya sangat dekat sekali dengan nasi liwet wongso lemu, namun kami dengan bodohnya memesan taksi dan menggunakan taksi ke situ dan tetap harus membayar 25 ribu, ya sudah lah ya, money is not a problem. haha. Tempat ini merupakan rekomendasi dari temannya Sukma yang tinggal di Solo dan dia juga kebetulan ikut kongkow bersama kami. Kafe Tiga Tjeret ini sepertinya cukup happening di Solo melihat dari ramainya para pengujung kafe. Tempatnya cukup asyik dengan pilihan menu minuman dan makanan yang cukup beragam mulai dari kopi, teh, wedang jahe, dan lainnya.

Selat Solo Bu Lies

Selat Solo Bu Lies


Danar Hadi House


House of Danar Hadi

Nasi Liwet Bu Wongso Lemu

Kafe Tiga Tjeret

Kafe Tiga Tjeret
Kafe Tiga Tjeret

Day 6 – 3 Jan 2015

Last day of holiday kami buka dengan sarapan makanan yang terkenal di Solo yaitu Timlo Sastro, tempatnya berada di sebelah belakang Pasar Gede. Tempatnya memang agak tidak terlalu meyakinkan karena ada di belakang pasar dan berada di dekat tempat sampah, namun ini tidak menjadi penghalang bagi orang-orang untuk membelinya, termasuk kami. Timlo sastro ini berisi daging ayam, ati ampela ayam, dan sosis solo, dan telur pindang. Saya sempat mengira sosis ini adalah sosis biasa (mereka menyebutnya sosis aja, tidak pakai embel-embel Solo). Sosis solo adalah makanan khas Solo yang bentuknya seperti risoles dengan daging ayam suwir di dalamnya. Enak sekali pemirsa! 

Pada hari itu tanggal 3 Januari bertepatan dengan hari Maulud Nabi dan di Solo kebetulan ada perayaan maulud nabi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sekaten atau Grebeg Muludan. Kami tentunya tidak ingin melwatkan keriaan ini karena belum pernah melihat perayaan sekaten sebelumnya. Kami pun menuju Keraton Solo yang pada saat itu sudah ramai sesak oleh warga sekitar yang ingin ikut serta. Di sekitar situ juga ada pasar kaget dan bazaar. Kami pun ikut menunggu bersama ratusan warga lainnya di depan pintu gerbang keraton. Tampak terlihat juga para wartawan dan wisatawan yang ingin mengabadikan acara ini. Setelah menunggu sekitar 20 menit, akhirnya keluar juga beberapa Gunungan untuk dibawa ke Masjid Agung. Gunungan ini terdiri dari bahan makanan, beras ketan, buah-buahan dan sayuran. Gunungan ini konon melambangkan kesejahteraan dan akan dibagikan kepada masyarakat karena dianggap membawa berkah, mencegah dari bencana, dan lainnya.

Next waktunya belanja, sebagai wargan negara Indonesia yang baik, tentunya sudah merupakan kewajiban untuk membawa oleh-oleh untuk keluarga dan sahabat. Kami berbelanja batik di Kampung Batik dimana akan banyak abang becak yang menawari untuk membawa kita ke kampung batik dengan biaya yang sangat murah, kalau tidak salah 2 ribu atau 5 ribu saja. Namun harusnya sih mereka akan mendapatkan komisi dari toko batik apabila kita berbelanja di toko tersebut. Beruntung sekali abang becak yang membawa kami karena saya sendiri belanja lumayan banyak, again money was not a problem (nyebelin). Sebenarnya niat awal kami ingin ke Pasar Klewer yang terkenal itu, namun sayangnya beberapa hari sebelumnya ada kebakaran di pasar klewer.

Timlo Sastro

Timlo Sastro

Sekaten

Pasar Sekaten

Sekaten Maulud Nabi

Keraton Solo

Sekaten
Sekaten


Gunungan

Gunungan

Pasar Klewer yang baru terbakar

Kampung Batik

Kampung Batik

Universitas Sebelas Maret

Sungai Bengawan solo

Hotel Twin Star

Setelah puas berbelanja, kami makan siang di bakso kadipolo yang tidak hanya menjual bakso namun bisa makan nasi dan pilih lauk juga. Kami sempat berjalan-jalan melihat sungai Bengawan Solo karena penasaran saja dengan sungai yang sudah menginspirasi pak Gesang menciptakan lagu. Sebelum pulang kami juga menyempatkan membeli oleh-oleh di toko roti Orion Mandarijn, yang selain menjual roti juga menjual berbagai makanan dan cemilan.

Okay, itu dia sekelumit cerita liburan saya hampir satu tahun yang lalu di Jogja dan Solo. Semoga bermanfaat!

No comments: