Friday, January 27, 2012

Wien die Stadt der Musik*


Wina, Vienna, Wien, semuanya merujuk ke satu kota yang sama, berturut-turut adalah sebutannya dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan sebutan asli di Austria. Untuk apa saya repot-repot menjelaskan? Tentunya karena sebagian orang ada yang bingung ketika saya bilang saya ke Wina. Dalam tulisan ini saya pakai Vienna saja deh yang lebih dikenal orang. Tidak ada alasan khusus kenapa saya mau ke Vienna selain karena letaknya ditengah-tengah eropa dan berdekatan dengan kota lain yang ingin saya kunjungi dan pasnya lagi karena saya menemukan tiket bus eurolines mudah dari dan ke Vienna. Oh, dan satu hal lain tentunya untuk bertemu dengan teman SMA dari Raya (baca cerita di Belanda) bernama Marina yang merupakan penulis buku traveling yang sedikit banyak memberikan inspirasi juga untuk traveling, apalagi dia juga semuran dengan saya. Eh, ada satu hal lagi, saya juga kepingin melihat giant ferris wheel yang sempat muncul di film favorit saya Before Sunrise (tempat mereka berciuman untuk pertama kalinya, hehehe), selaih itu ferris wheel ini juga menyediakan jasa restoran di beberapa kabinnya, sebuah konsep yang saya dan teman-teman kuliah dulu pernah menggunakannya (kami tidak tahu kalau di Vienna ada) sebagai ide bisnis untuk presentasi tugas kuliah.


Inside the Opera building

Giant Ferris wheel


Impressions

Vienna ternyata adalah kota musik, fakta yang baru saya sadari ketika saya sampai di sana. Berdasarkan sejarah Austria dulu merupakan salah satu kerajaan terbesar di Eropa (Astro-Hungarian Empire) dimana Vienna menjadi ibukotanya, oleh karena itu kalau soal bangunan-bangunan klasik yang indah, jangan ditanya lagi, bertebaran di setiap sudut kota. Vienna juga mempunyai palace yang katanya dibangun untuk menyaingi Versailles di Paris. Namun, dibalik semua itu Vienna juga identik dengan seni dan musik pada khususnya, beberapa komposer musik klasik dunia berasal dari Austria diantaranya Mozart, Beethoven, Strauss, Haydn, Brahms dan Mahler. Kota ini selalu ramai dengan pertunjukan seni setiap harinya, baik itu musik klasik, paduan suara, maupun opera. Kalau saya boleh bilang belum ke Vienna namanya kalau belum menonton opera, ya boleh setuju boleh tidak sih. Soal makanan selain Wiener Schintzel (daging ayam yang digoreng dengan tepung roti), Vienna juga terkenal dengan dengan budaya nongkrong-nongkrong di kafe, hanya duduk, membaca buku atau mengobrol sambil meminum secangkir kopi hangat dan sepiring cake manis.

Salah satu cafe di Vienna

How to get there and accommodation
Saya naik bus eurolines promo lagi dari Berlin, sebenarnya agak bolak-balik dari Praha-Berlin-Vienna karena harud ganti bus di Praha, tapi karena murah kenapa tidak? Bus berangkat jam 7.30 pagi dari Berlin, sampai Praha 12.30 berganti bus lalu sampai Vienna jam 5 sore, benar-benar hampir menghabiskan waktu seharian yang efektif dari pagi sampai sore yang sebenarnya bisa dipakai untuk jalan-jalan. Sebenarnya ada opsi lain yaitu bus yang malam sehingga bisa sampai Vienna pagi hari namun harganya EUR 55, cukup jauh dibandingkan dengan harga promo EUR 9, dan tentunya dalam perjalanan ini saya tidak punya concern waktu.

Saya menginap di hostel Wombat yang merupakan salah satu big chain hostel. Di Vienna saja ada 3 lokasi dan satu hostel juga sangat besar, dengan kamar yang sangat banyak. Bukan tanpa alasan hostel ini begitu populer dan ratingnya juga selalu bagus. Saya menginap di Wombats yang dekat dengan Naschmarkt salah satu pasar tradisional di Vienna. Saya bisa mengatakan hostel ini adalah hostel dengan lokasi paling strategis dari semua hostel  yang saya tempati. Selain itu saya juga sudah mendapatkan petunjuk bagaimana menuju hostel tersebut dari pemberhentian bus. Jarak antara metro stop (Kettenbruckengasse) dan hostel sangat dekat, sekitar 2 menit berjalan kaki. Kalau mau berjalan ke pusat kota (Karlplatz) juga tidak terlalu jauh dengan berjalan kaki. Tidak ada kesulitan sama sekali untuk mencapai hostel ini, bahkan saya malah membantu 2 orang cowok asal Australia yang satu bus saya yang ternyata menginap di hostel yang sama. Oh, mumpung ingat, salah satu cowo ini baru menyadari kartu kreditnya ketinggalan di mesin untuk membeli tiket metro, artinya tertinggal di station metro awal dekat dengan pemberhentian bus, dan dia baru sadar sekitar 10 menit setelah sampai di hostel. Namun, kisah ini berakhir bahagia dengan ditemukannya kartu kredit cowok itu, kalau di Jakarta, rasa-rasanya sudah pasrah saja, jangankan 20 menit, 5 menit saja pasti sudah raib. Hehe.

Untuk hostelnya sendiri nyaman, kamarnya bagus dengan furniture modern, kasur yang nyaman, kamar mandi ada di dalam kamar, dan kamar dan kamar mandi selalu terjaga kebersihannya karena selalu dibersihkan setiap hari. Hostel ini bahkan kabarnya memenangkan kategori hostel terbersih se-Vienna. Fasilitasnya lengkap baik di hostel maupun di dalam kamar, walau wifi hanya ada di lobi. Namun lobinya cukup luas dan nyaman, mereka juga menyediakan beberapa komputer jika ada yang ingin menggunakan internet. Harganya tidak terlalu mahal EUR 16 tapi belum termasuk sarapan. Untuk sarapan, kalau mau bisa membayar EUR 3 untuk makan buffet yang lengkap, namun untuk saya, tentu lebih irit kalau membeli roti di supermarket untuk sarapan. Staff hostel baik dan informatif dan kita juga mendapatkan peta gratis yang dilengkapi informasi beguna seputar kota Vienna, informasinya bukan hanya standard seperti di guidebook namun mereka memberikan banyak rekomendasi tempat-tempat yang cool, tempat makan, serta tips menarik dan berguna. Lobi di bawah seperti information center yang sangat berguna karena mereka menyediakan sebuah buku besar berisi informasi tentang Vienna dan lainnya, seperti kota atau negara lain, jadwal bus dan kereta, dan lainnya. Namun dengan amat besarnya hostel ini, akan sedikit sulit untuk beremu dan berakrab ria dengan orang baru.

8 door room at Wombat's

Things to do and see

Day 1 (15 Oct 2011):

Saya sampai di hostel sore hari, setelah mengurus cek in dan lainnya saya memutuskan untuk beristirahat saja karena seperti di Praha saya mempunyai waktu cukup banyak. Saya hanya keluar makan malam di sekitar situ, agak susah juga mencari makanan murah di sekitar sini karena waktu itu hari sabtu hampir semua supermarket sudah tutup dan fast food pun tidak terlihat. Akhirnya saya menemukan kedai Wiener Schnitzel yang agak sepi tapi harganya cukup terjangkau dan rasanya pun enak, hanya sayang di eropa tidak ada saos sambal, hanya ada saos tomat yang saya tidak suka, saya bawa saos ABC dari rumah tapi jumlahnya sudah semakin menipis. Untuk saos ini, kalau pergi lumayan lama, kalau bisa membawa cukup banyak karena tidak terlalu berat dan makan tempat tapi fungsinya sangat besar, coba saja makan apapun kalau dikasih saos sambal pasti jadi enak. Percaya saja apa kata mama loreng (loohh...).  Setelah makan malam saya pun kembali ke hostel untuk mempersiapkan apa-apa saja yang akan saya lakukan selama di Vienna. Awalnya saya amat ingin ke Salzburg karena suka sekali dengan film Sound of the Music, namun saya melihat perjalanan dari Vienna agak lama (lebih dari 3 jam one way) dan harga keretanya pun lumayan mahal (di atas EUR 100 untuk return). Jadilah saya harus mengubur dulu impian saya ke Salzburg untuk saat ini.

Day 2 (16 Oct 2011):

Hari ini agenda saya adalah ke amusement park Prater, sebuah taman hiburan yang ada di Vienna. Di tempat ini terdapat banyak wahana seperti di dufan yang kebanyakan pengunjungnya adalah keluarga. Apalagi waktu itu hari minggu. Tujuan saya ke sini sebenarnya hanya satu untuk melihat langsung Wiener Riesenrad (Vienna Giant Ferris Wheel) yang alasannya sudah saya jelaskan sebelumnya, ferris wheel ini merupakan ferris wheel tertua yang sudah dibangun sejak sebelum perang dunia pertama yang masih bertahan sampai setelah perang dunia ke-2, tidak seperti Giant Ferris wheel di kota lain yang sudah rusak akibat perang. Sampai saat ini masih mempertahankan bentuk kabin asli seperti dahulu serta warna merahnya, walaupun tentunya sudah banyak dilakukan restorasi untuk mempertahankan kinerjanya. Aslinya ferris wheel ini terdriri dari 30 kabin, namun akhibat kerusakan pada masa perang dunia maka hanya 15 kabin yang masih dipertahankan dan dipamerkan di museum yang ada di situ. Untuk naik ferris wheel ini dikenakan biaya sebesar EUR 8 sudah termasuk tiket ke dalam museum. Itu hanya untuk naik ke kabin yang biasa ya (yang tanpa meja kursi untuk makan), kalau mau menyantap hidangan di dalam gondola wah tidak kebayang deh harganya berapa. Selain itu diperlukan pesan terlebih dahulu jika ingin menggunakan untuk makan misalnya. Selain ferris wheel juga banyak wahana lain yang dapat dicoba namun tentunya dikenakan biaya berkisar EUR 3-10 tergantung dari seru atau tidaknya wahana tersebut. Di sini juga ada museum lilin Madame Tussaud, untungnya sekarang sudah tidak tertarik lagi mengunjungi museum ini karena selain mahal dan sekarang sudah pasaran. Berikut beberapa foto di Prater

Prater

Ada pameran eco-car

even bigger ferris wheel

Cabin of Wiener Riesenrad

Setelah makan siang di situ saya melanjutkan perjalanan ke Danube Island sebuah taman luas dipinnggir sungai Danube yang terkenal, saking terkenalnya sungai ini sampai mengispirasi komposer J. Strauss untuk menciptakan "Blue Danube" yang indah dan fenomenal (kalau tidak tahu coba google deh, cukup sering dipakai baik di film, iklan, dll). Saat menulis tulisan ini saya sambil mendengarkan Blue Danube lho (sumpah). Selain bisa berjalan kaki, saya juga melihat beberapa orang asik bersepeda atau ber-skateboard. Ada juga yang hanya duduk-duduk di rumput.

Danube River

Setelah kembali dari situ saya bermaksud mengunjungi opera untuk mencari informasi untuk standing ticket, saya turun di metro Karlplatz, namun sampai sekitar 30 menit mencari operanya tidak ketemu juga, saya malah menemukan sebuh gereja bergaya Baroque yaitu St. Charles church.

St. Charles church

Saya pun lalu iseng naik tram no. 2 untuk keliling-keliling sambil melihat pemandangan kota. Setelah makan malam saya pun ke Stephasplatz dimana terdapat gereja yang paling terkenal di Vienna yaitu Stephanson Dom, karena letaknya yang pas berada di tengah-tengah kota Vienna. Berbeda dengan gereja sebelumnya yang saya lihat, Stephanson Dom ini bergaya gothik dengan dua menara tinggi menjulang ke atas. Gereja ini juga memiliki atap yang unik berwarna warni. Untuk masuk ke dalam gereja ini tidak dikenakan biaya, biasanya saya cukup suka masuk ke dalam gereja, selain gratis, penasaran dengan arsitekturnya, bisa juga untuk duduk beristirahat dengan tenang dan untuk menghalau rasa dingin di luar sana. Sampai saat kemarin saya di sana, gereja ini masih dalam proses restorasi. Stephansplatz ini merupakan pusat perbelanjaan ter-elit di Vienna yang dipenuhi dengan toko-toko barang bermerk dan restoran mahal.

Stephanson Dom

Stephanson Dom

Stephansplatz


Day 3 (17 Oct 2011):

Hari ini agenda saya adalah Schonbrunn Palace, sebuah kompleks istana di Vienna yang hampir bisa disamakan dengan Istana Versailles di Paris. Mengingat Vienna dulu merupakan ibukota dari kerejaan besar di Eropa (Astro-Hungarian Empire). Kompleks istana ini begitu luas dengan taman yang indah. Kita bisa masuk dan berjalan-jalan berkeliling dengan gratis. Jika ingin masuk ke dalam bangunan-bangunannya barulah kita harus membayar. Saya sendiri hanya berjalan berkeliling mulai dari istana utama lalu berjalan di taman sampai naik ke atas bukit dimana terdapat sebuah bangunan bernama Gloriette. Dari atas bukit ini kita dapat melihat keseluruhan istana Schonbrunn beserta tamannya dan juga keindahan kota Vienna. Istana ini juga dinobatkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNSESCO. Walaupun tidak masuk ke dalam istana, saya cukup terpana dengan pemandangan ini. Lagi pula saya sudah pernah masuk ke dalam istana Versailles, jadi seharusnya mirip-mirip lah.

Gloriette's view from the palace
Schonbrunn Palace from the hill
Gloriette
The palace and view of Vienna
Kembali dari Schonbrunn saya kembali ke Stephansplatz dengan tujuan menukarkan uang USD yang saya punya karena EUR saya hampir habis. Keputusan ini pun menjadi keputusan yang akan saya sesali kemudian karena ternyata money changer di Vienna mengenakan commission charges yang amat besar sekitar 12% dari nilai transaksi. Sebelumnya saya pernah menukarkan uang di Jerman dan Ceko, namun tidak pernah ada commisson charge sebesar itu, kalaupun ada jumlahnya kecil sekali dan tidak material. Saya jujur tidak memperhatikan dan tulisan commission charge itu pun amat sangat kecil. Saya masih dalam tahap memproses dan menghitung tiba-tiba menyadari bahwa uang terdapat perbedaan yang sangat jauh dengan rate yang tertera. Namun bodohnya saya sudah meninggalkan tempat transaksi, sehingga ketika saya kembali lagi ke money changer untuk menanyakan dan membatalkan transaksi, si petugas tidak mau. Saya menukarkan USD 500, jadi bisa dihitung sendiri lah ya berapa saya kena commission charge laknat itu. Huhuhu. Setelah kejadian ini pun rasanya shock sekali sampai saya hanya terbengong-bengong di duduk di salah satu tempat duduk di Stephansplatz. Akhirnya setelah menenangkan diri saya pun lantas berbelanja di H&M untuk menghibur diri.

Setelah itu tujuan saya berikutnya adalah ke sebuah museum bernama Kunst Haus Wien atau Museum Hundertwasser. Alasan saya ke sini adalah karena setiap hari senin ada diskon 50% untuk masuk ke museum ini. Saya sendiri tidak tahu museum apakah ini dan ternyata setelah mengunjunginya saya berkesimpulan ini adalah salah satu museum terkeren yang saya kunjungi. Mungkin agak tidak biasa, tapi saya sangat suka sekali dengan museum ini. Cara untuk mencapai museum ini bisa naik U-bahn line U1 atau U4 turun di stasiun "Schwedenplatz". Dari saya berjalan kaki ke menuju jalan Weissgerberstrasse 13. Lama perjalanan sekitar 20 menit berjalan kaki. Alternatif lain bisa naik tram line 1 turun di "Radetzkyplatz" dari situ cukup berjalan sekitar 5 menit. Dari luar bangunan museum ini cukup unik, warna-warni, berkelok-kelok dengan gaya modern art yang mengingatkan saya dengan karya Gaudi. Jadi museum ini sebenarnya adalah gallery dari seorang bernama Friedensreich Hundertwasser seorang pelukis sekaligus arsitek beraliran kontemporer. Lukisannya pun mempunyai ciri khas yaitu berwarna-warni, penuh kurva, dengan bentuk-bentuk yang aneh dan memerlukan intrepretasi sendiri.

pintu masuk Kunsthaus
KuntshausWien tampak luar

Yang menarik adalah dia bukan sekedar pelukis, namun dia seorang artis yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, seumur hidupnya dia juga mendedikasikan hidupnya untuk ini dengan menyumbangkan banyak pemikiran untuk pelestarian lingkungan. Salah satu konsep yang di usulkan adalah dengan menciptakah lahan terbuka tempat menanam tanaman di atas atap sebuah bangunan. Bangunan museum ini juga salah satu karyanya yang merealisasikan konsepnya tersebut, dengan lantai yang tidak rata, bentuk yang tidak teratur dan berwarna-warni. Hasil karyanya yang lain tersebar di berbagai negara di Eropa bahkan ada di asia juga. Salah satu gedung yang juga hasil rancanganya yang ada di Vienna adalah gedung Spittelau yang merupakan tempat untuk mengolah limbah yang menjadi energi, gampangnya bisa dikatakan bantar gebangnya kota Vienna. Saya yang tanpa ekspektasi apa-apa datang ke museum ini amat tergakum-kagum dengan sang seniman. Kebetulan di tahun 2011 ini merupakan peringatan 20 tahun berdirinya museum ini sehingga ada satu lantai didedikasikan untuk pameran mengenai kehidupan sang seniman. Sayangnya di musem ini tidak diperkenankan mengambil foto, tapi tetap saja saya curi-curi mengambil gambar diam-diam karena sayang sekali kalau tidak ada kenang-kenangan sama sekali.


konsep eco-building
Uneven floor
The gallery
Eco house where lot of plants inside
Plants above the roof
Malam harinya saya membelli tiket bus ke Bratislava di kantor penjualan Eurolines, saya naik U3 turun di Erdberg, dan tiket bisa langsung dibeli di sana. Vienna dan Bratislava konon adalah 2 ibu kota dengan jarak terdekat di Eropa. Cukup 1 jam perjalanan dengan bus kita bisa sampai ke Bratislava dari Vienna. Harga bus juga murah hanya sekitar EUR 6. Seorang kenalan bahkan bercerita dia pernah naik sepeda dari Vienna ke Bratislava, lama perjalanan 6 jam one way.

PwC Vienna

Day 4 (18 Oct 2011):

Pagi hari saya berjalan-jalan berkeliling pusat kota Vienna. Sebelum berjalan-jalan saya mencoba lagi mencari tahu dimanakah letak Opera yang tekenal itu, saya sampai mencari gambarnya di google dan saya save gambarnya di telepon genggam saya. Saya pun turun di Karlsplatz station dan ternyata hanya perlu mengikuti petunjuk arah keluar "Oper" (Opera dalam bahasa Jerman), begitu keluar, langsung terlihat deh gedung operanya. Di dalam metro station ini banyak terdapat toko-toko dan tempat makan, dan saya pun menemukan one of my best buy in Europe, saya melihat ada coat dijual seharga EUR 15, saya pun langsung menghampiri toko dan mencobanya, coatnya bagus (sudah diconfirm oleh teman saya Jessica yang seorang desainer), hangat, dan modelnya juga bagus, tidak ada merk tapi made in Italy lho. Karena udara di Vienna saat itu sudah cukup dingin akhirnya saya membeli coat tersebut karena saya membutuhkannya. Perjalanan dimulai dari gedung parlemen sebuah gedung kuno berwarna putih yang megah dengan beberapa pilar-pilar di depannya. Saya pernah mendapatkan info kalau bisa masuk ke gedung parlemen ini gratis dan ikut tur. Namun ternyata sudah tidak ada, gratis hanya untuk pelajar di bawah 20 tahun. Saya pun hanya masuk sampai di lobi saja dan befoto di depannya.

Gedung Parlemen
Selanjutnya saya ke Rathaus atau city hall di Rathausplatz di Ring strasse. Gedung city hall ini lagi-lagi mengingatkan saya akan city house di Brussels karena bentuknya yang mirip dan sama-sama bergaya gothik. Setelah masuk sebentar, melihat-lihat dan berfoto saya lalu meneruskan menyusuri jalan di sekitar situ.Oh iya, Rathaus ini sepertinya sering juga digunakan sebagai venue untuk kegiatan-kegiatan di kota ini, seperti yang saya lihat banyak peralatan sirkus ada di halaman depan Rathaus.

Rathaus
Rathaus
Inside the city hall

Saya pun lalu duduk-duduk sebuah taman sambil makan cemilan dan berjemur. Oh yeah, suatu hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya di Jakarta, kalau ada matahari pasti bawaannya mau ke tempat yang adem, tapi kalau di sini gak bisa melihat matahari sedikit saja, bawaannya mau berjemur.

Taman luas di tengah kota

Huehehe. Saya lalu melanjutkan perjalanan ke Horfburg Palace dan Museumquartier yang merupakan kompleks dimana terdapat beberapa museum di sini. Namun karena tidak ada diskonan untuk masuk museum ini tentunya saya tidak masuk. Saya terus berjalan-jalan ke daerah pertokoan dekat Museumquartier dan hampir saja tergoda membeli sepatu boots sale. So proud of myself karena sebenarnya saya bukannya butuh, hanya semata terlihat keren saja dan matching sama orang-orang di sana dan tentunya harganya jauh lebih murah daripada di Jakarta, EUR 20 sudah bisa dapat boots, coba di Jakarta, merk abal-abal pun harganya bisa IDR 300 ribuan paling murah.

Hofburg Palace

Kunsthistorisches Museum

kompleks museum, museumquartier

Mumok

Setelah makan siang saya kembali ke hostel untuk sholat dan istirahat sebentar, karena untuk sore harinya saya sudah ada rencana untuk mengunjungi museum, Haus der Musik karena khusus hari selasa setelah jam 5 sore, tiket masuknya diskon 50%. Dan karena museum ini buka sampai jam 10 malam, so, masih banyak waktu untuk mengexplore. Haus de Musik berarti House of Music dalam bahasa Inggris. Museum ini salah satu museum yang uni dan menarik yang saya temui di Eropa, apalagi dengan predikat Vienna sebagai kota musik, sudah sewajarnya saya mendatangi museum musik ini. Museumnya modern, sebuah museum yang didedikasikan untuk musik dan suara, museum ini interaktif sekali dimana pengunjung dapat ikut serta di dalam beberapa percobaan yang unik terkait dengan musik, seperti menciptakan partitur musik dengan cara melempar dadu, membuat partitur sesuai nama kita, memimpin sebuah orkestra, dan ada juga alat untuk mempelajari pengetahuan mengenai sound. Di sana kita juga bisa mendengarkan berbagai musik klasik, dimana disediakan beberapa cd musik klasik, saya sempat menghabiskan 20 menit hanya untuk mendengarkan musik klasik di earphone. Benar-benar menenangkan. Di museum inii ada satu lantai yang khusus didedikasikan untuk pemusik klasik seperti Mozart, Beethoven, Strauss, dan lainnya, dimana kita bisa melihat sejarah mengenai mereka, perkembangan karir musik mereka, memorabilia mereka dan hal-hal menarik lainnya. Museum ini agak sepi, entah mungkin karena pada waktu itu hari biasa dan sudah agak malam, saya hanya bertemu kira-kira 5 orang pengunjung lain selain saya. Atau mungkin juga museum ini bukan favorit bagi turis, tapi kalau menurut saya, justru museum seperti inilah yang menarik untuk sebuah kota musik seperti Vienna, kalau museum yang isinya lukisan, patung dari jaman Rennaissance mah di kota lain juga banyak, museum seperti ini hanya ada di Vienna.

Mozart


CD musik klasik untuk didengar
Hearing threshold
Beberapa karya musisi klasik

Ketika saya keluar museum hari sudah agak larut dan jalanan pun sepi, karena letak museum ini memang bukan di pusat kota banget, saya pun agak kebingungan bagaimana caranya untuk sampai ke metro station terdekat yaitu Stadpark. Saya melihat dua pria lalu memutuskan untuk membuntuti mereka karena saat itu tidak ada orang yang bisa ditanya. Ketika sedang membuntuti 2 orang itu saya pun melihat sebuah hotel maka saya pun memutuskan untuk bertanya arah ke hotel. Ya, ini bisa jadi tips untuk kamu ketika tersasar, hotel biasanya akan menjadi tempat yang tepat untuk bertanya karena mereka pasti punya informasi yang reliable, staf hotel juga pasti bisa berbahasa Inggris dan sudah menjadi bagian dari servis mereka untuk membantu orang. Hotel juga bermanfaat untuk buang air jika memang kebelet karena biasanya gratis juga. Hehe. Singkat cerita, dengan petunjuk dari hotel sampailah saya ke U-bahn station terdekat dan bisa sampai ke hostel saya dengan selamat.

Day 5 (19 Oct 2011):

Pagi hari ini saya ke Belvedere Palace atas rekomendasi seorang teman, ini adalah salah satu kompleks
istana di Vienna. Kalau dibandingkan dengan Schonbrunn sepertinya lebih kecil. Saya juga kurang tahu mengapa tempat ini dinamakan Belvedere, karena setahu saya itu adalah bahasa Itali, Bel berarti bagus atau cantik, sedangkan vedere berarti melihat. Jadi, Belvedere bisa diartikan sebagai sebuah tempat yang cantik untuk dilhat.

Belvedere Palace

Setelah dari Belvedere saya yang masih penasaran dengan salah satu karya Hundertwasser pun lalu memutuskan untuk melihat gedung yang digunakan untuk mengolah limbah menjadi energi, bangunannya unik, dengan warna-warni khas seniman ini. Untuk mencapai gedung ini turun di U-bahn stop Spitteleau (U4) dan bangunan unik ini akan langsung terlihat.

Spittelau waste to energy plant

Selepas dari sini saya kembali ke hostel untuk sholat selanjutnya saya ke Universitas Wien untuk janjian ketemuan sama Marina. Setelah berjalan-jalan sebentar di Uni Wien, kami pun mengobrol di sebuah kafe dekat situ yaitu Cafe Einstein, saya memesan Viennese coffe dan Marian memesan jeruk nipis hangat, pas sekali untuk udara yang dingin. Sepertinya tidak mungkin tapi dengan hanya minuman tersebut kami tahan mengobrol hampir 4 jam lamanya. Pembicaraan pun macam-macam mulai dari traveling, bagaimana kehidupan di Vienna, gosip artis ibukota, sampai kampanye presiden USA 2012. Marina sendiri tinggal di Vienna karena mengambil S2 di Uni Wien, selain sekolah dia juga bekerja. Saya baru tahu juga kalau kuliah di Uni Wien gratis karena merupakan public university, sebagai mahasiswa tetap harus membayar biaya hidup. Namun biaya hidup tidak semahal yang dikira, kos-kosan Marina sebulan hanya sekitar EUR 180, kalau tidak salah.

Viennese Coffee

Canggih menunya pake i phone
Marina dan saya

Wien Universitat

Saat itu Marina bercerita dia dan teman-temannya berencana nonton film 3 idiots keesokan harinya, namun mereka belum ada yang download film tersebut. Kebetulan sekali saya punya downloadan film itu di laptop saya, sehingga kami pun memutuskan untuk menonton malam itu juga karena besok sore saya sudah ada rencana menonton opera. Setelah kembali ke hostel untuk mengambil laptop, saya pun janjian dengan salah satu teman Marina bernama Hamza di U-bahn station dekat hostel saya lalu kami bersama-sama menuju student house tempat Marina tinggal. Sampai di situ kami nonton di kamar teman Marina yang bernama Kautsar sambik makam malam nasi goreng buatan Marina. Saya dan Marina sebenarnya sudah bebeapa kali menonton film ini, sedangkan mereka berdua belum pernah, namun tetap saja kami berdua tertawa terpingkal-pingkal melihat semua adegan yang sebenarnya kami sudah tahu akan terjadi. Suprisingly still entertaining. Filmnya ternyata tidak sampai 3 jam dan saya pun masih kebagian U-bahn terakhir untuk kembali ke hostel. Inilah salah satu hal yang menyenangkan ketika kita mempunyai banyak waktu untuk traveling, tidak setiap hari harus dihabiskan dengan mengunjungi semua tourist attractions. Bagi saya kegiatan saya hari itu mengobrol di kafe dan menonton film India bersama sangatlah menyenangkan dan tidak ternilai.

Day 6 (20 Oct 2011):

Ada dua agenda utama saya hari ini, yang pertama mencuci baju dan menonton opera dengan standing ticket. Keduanya sangat esensial untuk dilakukan karena, sudah 2 minggu sejak terakhir saya mencuci baju, untuk opera, ini adalah kegiatan nomor satu di Vienna (versi saya). Sore hari saya berangkat dari hostel dan sampai opera sekitar jam 5 sore, saya pun berkeliling gedung opera untuk mencari dimanakah tempat penjualan standing ticket. Setelah bertanya sana-sini akhirnya saya masuk ke dalam gedung dan benarlah di situ sudah terdapat antrian. Tidak ada tanda-tanda dari luar kalau pintu ini menuju ke tempat penjualan standing ticket. Ketika sampai sudah ada antrian namun tidak begitu banyak, maksimal 30 orang di depan saya dan pada saat itu loket belum dibuka. Ada kejadian menarik yang saya ingat. Ketika itu ada seorang cowok asia yang masuk ke antrian di depan karena teman-temannya sudah terlebih dahulu datang, namun seorang bapak penjaga langsung menegurnya karena tidak ada sistem mengantrikan teman, every man of himself. Menurut saya ini konsep yang bagus dan adil untuk semua, first come, first served, no matter how many friends you have (ini pasti karena saya solo traveler, hehehe).

Antre standing ticket. Cowo itulah teman sebelah saya ketika nonton
Setelah menunggu sekitar 40 menit akhirnya kita mulai bisa mengantri untuk masuk ke ruangan tempat pertunjukan. Saya pikir standing ticket hanya untuk turis kere semacam saya, namun ternyata banyak juga orang lokal, bapak-bapak dan ibu-ibu yang memilih standing ticket. Begit masuk ke dalam ruangan, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetek (dibs) tempat nonton dengan mengikatkan syal atau barang apapun di tiang pegangan, ini penting untuk memastikan kita mendapatkan spot yang bagus (ditengah). Setelah itu sambil menunggu penonton dengan tiket duduk kita bisa berkeliling gedung opera sepuasnya dan mengambil foto sampai begok. Sebuah privilege yang hanya bisa didapat oleh penonton standing ticket. Untuk yang ragu akan berdiri selama 3 jam, keadaannya tidak seburuk itu karena sebenarnya kita bisa duduk di lantai kalau mau, misalnya ketika sedang tidak ada adegan (hanya musik), selain itu ada intermission juga. Lalu bagi yang khawatir tidak mengerti tidak perlu khawatir juga karena ada subtitle english sehingga kita bisa mengikuti ceritanya.

Syal untuk dibs tempat
Subtitle
Opera yang saya tonton waktu itu berjudul Fidelio, sebuah karya Beethoven, bahkan merupakan satu-satunya opera yang dibuat oleh Beethoven. Kisahnya (spoil alert!) mengenai perjuangan seorang istri untuk menyelamatkan suaminya yang sedang dipenjara sehingga dia pun menyamar menjadi seorang pemuda bernama Fidelio. Menurut info dari cowo pelajar di sebelah saya yang kelihatannya sangat suka dengan opera, Fidelio merupakan pertunjukan opera yang pertama kali diadakan semenjak berakhirnya perang dunia ke-2. Wow, ini benar-benar sesuatu banget kan. Cowok di sebelah saya ini sepertinya punya passion terhadap opera, dilihat dari pengetahuannya tentang opera, saya jadi tahu kalau tempat kami menonton, standing ticket EUR 3 yang terletak paling atas akan mendapatkan sound yang lebih baik. Dia juga punya buku pertunjukan Fidelio dan sudah hafal siapa-siapa penyanyi opera dan peran yang dimainkan. Dia pun bertepuk tangan amat keras ketika pertunjukan selesai, bahkan dia tidak berhenti bertepuk tangan ketika semua orang sudah selesai. Tapi lumayan juga sebelahan sama doi saya jadi mendapatkan pengetahuan baru. Selama pertunjukan opera ini kita harus menitipkan tas dan coat kita di penitipan, dan tidak boleh mengambil foto atau video selama pertunjukan. Benar-benar pengalaman baru yang luar biasa. Sayangnya itu adalah hari terakhir saya di Vienna, jika tidak saya pasti akan menonton opera setiap hari.


Setelah selesai pertunjukan
para pemeran fidelio
Gedung Opera tampak luar

Budget and other tips

* Wajib dilakukan tanpa harus menjadi penggemar oepra menonton opera, paling worth it membeli standing ticket EUR 3-4, bedanya yang lebih murah tempatnya di atas, better sound, less view. Yang lebih mahal lebih di bawah / tengah, better view, less sound. Silahkan dipilih.
* Untuk tiket yang duduk kalau student bisa juga dapat tiket EUR 10, kalau tidak minimal EUR 20 (semua bisa di cek di websitenya www.wiener-staatsoper.at untuk harga, jadwal, dan ketersediaan tempat duduk). Opera dimulai pukul 7 malam dan berlangsung selama 3 jam (termasuk satu kali intermission 15 menit).
* Untuk membeli standing ticket, bisa mengantri mulai dari jam 5.30 (antri sekitar 30-40 menit),
* Kenapa saya bilang yang bukan penggemar opera pun harus nonton? Karena saking murahnya tiketnya, dengan hanya masuk ke gedung opera dan ruang pertunjukan saja sudah balik modal, dan kalau di tengah-tengah tidak suka toh bisa keluar.
* Membeli tiket transport harian akan lebih hemat (tetap dihitung dulu kira-kira akan sering pakai transport atau sering jalan kaki?) tiket single journey EUR 1.8. Tiket 24/48/72 jam seharga EUR 5.7/10/13.7.
* Transportasi U-bahn memang cepat dan efisien, tapi tidak bisa melihat apa-apa, sebagai alternatif untuk sightseeing bisa dicoba naik tram no 1 dan 2 (tiket transport harian berlaku) kedua tram ini akan melalui pusat kota dan tempat-tempat yang penting. Dengan naik tram kita dapat melihat pemandangan menarik kota Vienna yang dipenuhi bangunan-banguan kuno dan taman kota yang cantik.
* Jangan pernah menukar uang di Vienna! Atau kalau terpaksa harus cek apakah ada commission charges, dan berapa besar, apakah worth it untuk menukar uang. Di Vienna commission charges bisa sangat besar (sampai 12%), padahal di kota lain di negara lain tidak sebesar itu. I learned my lesson the hard way. Jadi, sebaiknya sih jangan dilakukan, sebaiknya mengambil uang di ATM, biaya sekitar IDR 30 ribu.
* Kunjungi museum ketika ada diskon seperti yang saya lakukan. Yaitu KunsthausWien setiap hari senin dan Haus der Musik setiap hari selasa di atas jam 5 sore.
* Supermarket tutup setiap hari minggu dan hari biasa hanya buka sampe jam 6 sore.

Actual Expense

1. Wombats hostel (6 malam): EUR 106.67
2. Inter city transport: EUR 25.5
3. Meal: EUR 47.21
4. Sightseeing (museum): EUR 13.5
5. Miscellaneous (internet hostel dan laundry): EUR 9.5
TOTAL: EUR 202.38

So, begitulah pengalaman saya di Vienna, city of music. Saya sangat terkesan dengan kota ini karena banyak mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan kota lainnya. Mungkin pilihan kegiatan yang saya lakukan dan tempat yang saya kunjungi agak sedikit berbeda dengan apa yang direkomendasikan di guidebook, tapi justru itulah yang membuat pengalaman saya di Vienna begitu berharga.

*) Vienna, the city of music

No comments: